Penulis/Author |
Dr. Ir. Lestari Rahayu Waluyati, M.P. (1) ; Prof. Dr. Ir. Masyhuri (2); Prof. Dr. Ir. Irham, M.Sc. (3); Ir. Any Suryantini, M.M., Ph.D. (4); Arini Wahyu Utami, M.Sc., Ph.D. (5); Dr. Hani Perwitasari, S.P., M.Sc. (6); Anung Pranyoto, S.P., M.P. (7); Prof. Dr. Ir. Dwidjono Hadi Darwanto, S.U. (8); Dr. Ir. Suhatmini Hardyastuti, S.U. (9); Prof. Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, S.P., M.Ec. (10); Prof. Dr. Jamhari, S.P., M.P. (11); Sugiyarto, S.P., M.Sc. (12); Agus Dwi Nugroho (13); Fatkhiyah Rohmah, S.P., M.Sc. (14); Arif Wahyu Widada, S.P., M.Sc. (15); Azizatun Nurhayati, S.P., M.Sc. (16); Abi Pratiwa Siregar (17); Hariyani Dwi Anjani, S.P., M.Sc. (18); Ilmas Abdurofi, SP, M.Sc., Ph.D. (19); Zaura Fadhliani, S.P., M.Sc. (20) |
Abstrak/Abstract |
Pada akhir 2019, di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China diketahui bahwa
terdapat satu orang yang mengalami sakit akibat korona virus sindrom pernapasan
akut berat 2 atau yang juga dikenal sebagai SARS-CoV-2 (Davidson, 2020). Hanya
dalam kurun waktu beberapa hari, diinformasikan bahwa gejala sakit yang sama juga
dirasakan oleh individu lainnya, tidak hanya di Provinsi Hubei, namun juga provinsi
lain di China, dan hingga akhirnya juga individu di negara lain (New York Times,
2020). Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan pihak berwenang, diketahui
bahwa SARS-CoV-2, dapat mudah menyebar, terutama jika orang yang telah
terkena kemudian berkumpul dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini
dikarenakan, beberapa orang di dunia tergolong individu yang mudah menularkan
penyakit menular (“super-spreaders” of infectious disease) (Ostriker, 2020; Harvard
T.H. Chan School of Public Health (2020).
Akibat dari gejala sakit yang meluas dan tersebar di beberapa negara, maka
penamaan terhadap penyakit maupun penyebabnya menjadi beragam karena setiap
negara punya sudut pandang masing-masing (Stobbe & Press, 2020). Atas dasar hal
tersebut, Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) (2020)
menetapkan memberikan penamaan terhadap penyakit dan virus yang
menyebabkannya, yaitu COVID-19 (coronavirus disease) dan SARS-CoV-2.
Berdasarkan hasil asesmen WHO, diestimasikan bahwa kasus COVID-19 akan terus
bertambah, dan oleh karena itu COVID-19 dikategorikan sebagai pandemi (WHO,
2020a).
Di Indonesia, konfirmasi kasus COVID-19 pertama kali dipublikasikan pada
tanggal 2 Maret 2020, yaitu sebanyak 2 kasus (Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, 2020). Hingga saat ini, terhitung pada tanggal 08 Mei 2020,
terdapat 13.112 orang positif, 2.494 sembuh, dan 943 meninggal dunia. Jika awalnya
kasus COVID-19 berada di sekitaran ibukota negara (DKI Jakarta), saat ini telah
menyebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, salah satunya Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pada tanggal 21 Maret 2020, total individu yang dinyatakan positif
2
sebanyak 5 orang. Seiring berjalannya waktu, saat ini per tanggal 08 Mei 2020,
terdapat 140 orang positif yang terdiri dari 77 orang positif dirawat, 7 orang positif
meninggal, dan 56 orang positif sembuh.
Studi yang dilakukan Nielsen menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat
di Indonesia berpendapat jika penyebaran COVID-19 relatif rendah namun akan
tetap ada hingga satu tahun ke depan. Dari sisi aktivitas masyarakat, adanya
COVID-19 telah membuat kegiatan di luar rumah seperti jalan-jalan ke mall,
berwisata, dan makan di restoran menjadi berkurang. Hal ini berdampak langsung
terhadap pelaku usaha di sektor perdagangan dan restoran. Turunnya jumlah
kunjungan pembeli berakibat pada penurunan omset. Di saat yang bersamaan, biaya
yang ditanggung relatif tetap, khususnya pada pos tenaga kerja, sewa bangunan dan
pemeliharaan mesin atau alat. Pada akhirnya, pelaku usaha mengalami kerugian.
Dampak COVID-19 juga dirasakan sektor lain seperti pariwisata, keuangan,
transportasi, pertambangan, konstruksi, otomotif, dan UMKM. Kementerian
Ketenagakerjaan dan BPJS memperkirakan pandemi COVID-19 berdampak pada
kurang lebih 2,8 juta tenaga kerja dengan rincian, 1,7 juta pekerja formal
dirumahkan, 794,4 ribu pekerja formal di PHK, 282 ribu pekerja informal yang
usahanya terganggu dan 100 ribu pekerja migran dipulangkan.
Dengan demikian, COVID-19 telah berdampak pada perlambatan ekonomi.
Ditinjau dari aspek rumah tangga, terjadi penurunan daya beli sebagai akibat
penghasilan yang berkurang. Hal ini perlu menjadi perhatian serius, karena jika
kemampuan membeli masyarakat turun hingga tidak mampu membeli bahan
makanan, maka akan terjadi rawan pangan, yaitu suatu kondisi masyarakat atau
rumah tangga yang tidak mempunyai akses secara fisik (ketersediaan) dan ekonomi
(daya beli) untuk memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, beragam dan
aman untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan
kesehatan. |