Abstrak/Abstract |
Penelitian ini membahas hegemoni bahasa asing dan kekuasaan sosial pada beberapa pusat perbelanjaan sebagai pemenuhan gaya hidup masyarakat urban, khususnya di Surabaya. Data diperoleh menggunakan metode simak/observasi dengan teknik unduh pada nama-nama pusat perbelanjaan di Surabaya yang telah mendapatkan IUPP dari Disperdagin Kota Surabaya sebagai data utama, selain itu data diperoleh pada PD Pasar Surya berupa nama-nama pasar tradisional sebagai data pembanding/data skunder. Beberapa data skunder juga diperoleh melalui situs resmi pengembang pusat perbelanjaan. Unit analisis berupa satuan lingual yang menyusun nama-nama pusat perbelanjaan, satuan lingual tersebut terdiri dari leksem dan frasa. Satuan lingual tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode padan translasional dan referensial. Penyajian data dilakukan dengan dua metode yakni formal dengan tabel dan informal dengan menggunakan kata-kata. Kesimpulan yang didapat antara lain: (1) Toponimi pusat perbelanjaan di Surabaya terhegemoni oleh bahasa Inggris, terbukti dengan beberapa leksem seperti: mall, city, square, world, center, central, plaza, dan park yang diadopsi dari bahasa Inggris, selain itu terdapat pula yang menggunakan campur kode antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, dan (2) Terdapat beberapa pusat perbelanjaan yang penamaannya diambil dari nama pengembang pusat perbelanjaan tersebut. Pemberian nama pusat perbelanjaan model seperti ini nyatanya dibarengi pula dengan berdirinya beberapa properti di sekelilingnya yang kemudian menjadikan hegemoni kekuasaan wilayah tersebut oleh para pengembang. Beberapa masyarakat pun lebih mengengingat pengembang sebagai nama yang mewakili wilayah tersebut dibandingkan nama- nama pahlawan yang telah ditetapkan pemerintah setempat. Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan memberikan pandangan baru terhadap kajian toponimi dan dapat menjadi motivasi pemerintah untuk memberikan regulasi terkait sistem penamaan yang lebih berasosiasi kepada kebudayaan Indonesia. Karena peran bahasa pada era Revolusi 4.0 tidak hanya sebagai identitas sosial, melainkan juga hegemoni kekuasaan sosial. |