Abstrak/Abstract |
Dengan perkembangan otonomi daerah tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi desentralisasi
kekuasaan yang dapat berakibat pada desentralisasi tindak pidana korupsi dimana kasus
korupsi di daerah meningkat. ICW pada tahun 2015 menyatakan bahwa 69 Kepala Daerah
terlibat kasus korupsi dan terdapat ratusan kasus korupsi di daerah. Tidak sedikit, kasus
korupsi di yang melibatkan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum. Tidak sedikit juga
kasus yang kemudian harus diselesaikan di pengadilan tipikor Jakarta Pusat karena dituntut
oleh KPK. Dengan dinamika tersebut menjadi timbul pertanyaan, bagaimana dengan
pembentukan KPK di daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hukum positif
mengenai pemberantasan korupsi di daerah dan kaitannya dengan solusi pembentukan KPK
di daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif digabungkan
dengan penelitian empiris untuk memperkuat data normatif. Dari hasil penelitian,
ditemukan bahwa pada dasarnya KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan memiliki peran dalam
pemberantasan korupsi dimana KPK sebagai kordintor. Tidak sedikit, perkara korupsi di
daerah yang ditangani oleh KPK dan diselesaikan di Jakarta Pusat. Setiap gelar perkara KPK
juga sering dilibatkan, dalam hal ini peran KPK di daerah menjadi penting. Namun,
pembentukan KPK di daerah berdasarkan penelitian ini bukanlah pembentukan KPK
permanen, namun pembentukan KPK di daerah yang temporer berdasarkan tingkat korupsi
di daerah tersebut. Penguatan lembaga penegak hukum yang sudah ada adalah salah satu
tujuan pembentukan KPK di daerah. |