Abstrak/Abstract |
Media sosial di Indonesia tidak hanya mengubah lanskap industri media, tetapi juga melahirkan ‘aktor’ baru seperti halnya pemengaruh (social media influencer). Selama ini, sebagian besar riset lebih menempatkan pemengaruh sebagai alat pemasaran (marketing tool) produk maupun jasa serta menjadi sarana membangun jenama (branding). Pemengaruh menggunakan platform media sosial agar terus berkomunikasi dan terkoneksi dengan para pengikutnya (followers) maupun pengguna sosial (users) yang lainnya melalui unggahan (konten) yang terus diproduksinya. Sebagian dari konten para pemengaruh tersebut kerap menyingkap aktivitas yang dilakukannya di ruang privat, mulai dari ruang keluarga hingga kamar tidur. Konten seperti ini tidak hanya menjadi sarana bagi pemengaruh untuk mengekspresikan siapa dirinya serta merawat relasinya dengan para pengikutnya, melainkan juga memenuhi hasrat melongok wilayah privat pemengaruh itu. Oleh karena itu, menarik meneliti lebih jauh proses transformasi ruang privat itu yang dibentuk melalui aktivitas pemengaruh tersebut sebagaimana bisa disimak pada konten mereka pada media sosial. Transformasi tersebut tentu saja berimplikasi pada distingsi serta batas-batas antara ‘ruang privat’ dan ‘ruang publik’ yang sangat krusial dalam konteks masyarakat demokratis. Distingsi dan batas tersebut penting agar tidak terjadi invasi terhadap ruang privat serta kemerosotan ruang publik bagi proses deliberasi dan diskusi yang demokratis dan rasional karena kepentingan politik dan pasar. Menggunakan metode studi kasus, penelitian ini akan menggali data dari konten pemengaruh Indonesia serta dilengkapai wawancara dengan pemengaruh terpilih dari lima tahun terakhir. Diharapkan penelitian ini memberikan sumbangan bagi diskusi kritis tentang transformasi ruang privat maupun ruang publik yang menciptakan paradoks karena kehadiran media sosial serta aktivitas para penggunanya. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan bisa memantik diskusi lebih jauh ihwal posisi dan peran pemengaruh lebih dari sekadar sebagai alat pemasaran atau perantara kultural (cultural intermediaries), melainkan aktor penting dengan segenap implikasinya dalam kultur digital saat ini. |