Penulis/Author |
Prof. Dr. Drs. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M. (1); Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LLM. (2) ; Prof. Dr. Ir. Bambang Triatmodjo, CES., DEA. (3); Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim (4); Haryo Dwito Armono (5); Ir. Wasis Dwi Aryawan, M.Sc., Ph.D. (6); Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M. (7); Hengki Purwoto, S.E., M.A. (8); Dr. Agustina Merdekawati, S.H., LL.M. (9); Traheka Erdyas Bimanatya, S.E., M.Sc. (10); Ir. Yano Surya Pradana, S.T., M.Eng., IPM., ASEAN Eng., ACPE., APEC Eng. (11); Anggita Mustika Dewi, S.H.,M.Kn. (12); Haekal Al Asyari, S.H., LL.M. (13); Yaries Mahardika Putro SH.,LL.M. (14); REVO RIZKI ADITIYA (16); BORIS (17); CLARA ANGGIT P (18); NANDA ZYITTA P (19); ANNISA TASHYA AULIA (20); CHRISNA ANGELIA Z G (21); NUGROHO ADHI PRATAMA (22); MARIO JON JORDI (23) |
Abstrak/Abstract |
Secara geografis dan topografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan. Mengingat kondisi tersebut, maka peran sarana dan prasarana transportasi menjadi sangat penting dalam rangka mewujudkan aksesibilitas masyarakat antar wilayah, terutama di daerah terpencil. Dalam rangka mengupayakan aksesibilitas tersebut, maka pengoperasian sarana dan prasarana transportasi seperti pesawat apung dan bandar udara perairan banyak digunakan, utamanya di negara-negara kepulauan, seperti Maladewa dan Sri Lanka. Keberadaan bandar udara perairan dan pesawat apung memiliki fungsi krusial, yakni selain untuk mewujudkan aksesibilitas antar wilayah, juga untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut mengingat fleksibilitas dari pesawat apung yang dapat mendarat di perairan dengan landasan yang tidak seluas pesawat udara sehingga dapat digunakan untuk menghubungkan wilayah perairan dan/atau terpencil di Indonesia.
Saat ini, pengaturan mengenai bandar udara perairan dan pesawat apung tunduk pada UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pengaturan dalam UU a quo, khusus terkait bandar udara perairan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 83 Tahun 2017 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 139 (Civil Aviation Safety Regulation Part 139) tentang Bandar Udara (Aerodrome). Akan tetapi, Permen a quo hanya mengatur mengenai teknis pelaksanaan bandar udara perairan. Sementara itu, pengaturan umum terkait bandar udara perairan belum diatur di dalamnya. Dengan demikian, dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi dari Permen dengan materi muatan yang secara umum mengatur mengenai pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian bandar udara perairan. Peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk untuk mewadahi keperluan tersebut adalah Peraturan Pemerintah tentang Bandar Udara Perairan.
Lebih lanjut, di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Bandar Udara Perairan (RPP Bandar Udara Perairan), pengoperasian bandar udara perairan terbagi menjadi dua, yakni Bandar Udara Perairan Mandiri dan Bandar Udara Perairan Pelabuhan. Terkait dengan pengaturan tersebut, maka timbul setidaknya tiga isu strategis dalam penelitian dan penyusunan RPP Bandar Udara Perairan.
Pertama, isu strategis yang timbul dan penting untuk dikaji adalah mengenai “Wewenang Kelembagaan”. Hal tersebut karena proses perencanaan, pengembangan, sampai pengoperasian bandar udara perairan melibatkan beberapa Lembaga dan bersifat lintas sektor. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa secara umum, pengelolaan bandar udara perairan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Akan tetapi, dalam hal adanya pengembangan bandar udara perairan pelabuhan di luar Rencana Induk Bandar Udara Perairan, diperlukan pula rekomendasi teknis dari Direktur Jenderal Perhubungan Laut dan/atau Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Selain itu, penyelenggara bandar udara perairan idealnya dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi, karena penyelenggaraan bandar udara perairan membutuhkan biaya yang besar, maka pihak swasta juga dapat menjadi penyelenggara bandar udara perairan.
Kedua, isu strategis yang perlu dan penting untuk dikaji adalah “Perizinan Pembangunan, Pengembangan, dan Pengoperasian Bandar Udara Perairan”. Saat ini, terdapat perubahan skema perizinan setelah disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) beserta peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, pengaturan terkait perizinan bandar udara perairan juga perlu menyesuaikan dengan peraturan-peraturan tersebut. Ada beberapa hal terkait perizinan yang berubah di bawah payung hukum UU CK beserta peraturan pelaksananya.
Saat ini, perizinan berusaha diberlakukan berdasarkan risiko dari bidang usaha yang dimiliki oleh pelaku usaha. Dengan demikian, masing-masing bidang usaha memiliki tingkat risiko yang berbeda. Dalam hal ini, kegiatan di bandar udara perairan yang merupakan bagian dari prasarana transportasi udara termasuk ke dalam bidang usaha dengan risiko menengah tinggi. Oleh karena itu, ketentuan dan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha pun akan menyesuaikan dengan bidang usaha yang berisiko menengah tinggi.
Dalam kaitannya dengan persyaratan perizinan bandar udara perairan yang mana merupakan bidang usaha menengah tinggi, setidaknya pelaku usaha wajib memenuhi dua hal sebagaimana diatur dalam PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Resiko, antara lain pelaku usaha wajib memenuhi persyaratan dasar perizinan berusaha dan perizinan berusaha berbasis risiko. Hal-hal yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha bandar udara perairan dalam persyaratan dasar perizinan berusaha, yaitu kesesuaian dengan Kegiatan Kemanfaatan Ruang (KKR), Persetujuan Lingkunan (PL), Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Mengingat letak bandar udara perairan yang akan memanfaatkan wilayah daratan dan perairan, maka dalam hal ini KKR yang wajib dimiliki oleh pelaku usaha adalah KKR Darat (KKRD) dan KKR Laut (KKRL). Dalam hal persetujuan lingkungan, Persetujuan lingkungan bandar udara perairan akan membutuhkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), tergantung pada jenis kegiatannya, apakah memberikan perubahan yang mendasar atau tidak terhadap lingkungan hidup.
Persetujuan Bangunan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) merupakan salah satu instrumen perizinan yang diubah dalam rezim perizinan Cipta Kerja saat ini, yang semula pendirian bangunan memerlukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diubah menjadi PBG, dimana penerbitan PBG menyesuaikan standar dan klasifikasi bangunan gedung. Mengingat bangunan gedung bandar udara perairan memenuhi klasifikasi Bangunan Gedung Fungsi Khusus (BGFK), maka ketentuan dan persyaratan pembangunan dan pengembangannya disesuaikan dengan skema BGFK. Sertifikat Laik Fungsi (SLF) merupakan ketentuan persyaratan yang dibutuhkan oleh pelaku usaha bandar udara perairan pada saat proses pembangunan dan pengembangan. Akan tetapi, apabila ke depannya dilakukan pengembangan bandar udara perairan, pelaku usaha hanya wajib memenuhi dokumen SLF tanpa perlu menyertakan PBG sebagai persyaratannya.
Ketentuan-ketentuan perizinan berusaha ini tidak hanya berlaku pada satu kegiatan di dalam bandar udara perairan, namun ketentuannya juga meliputi seluruh proses dan kegiatan yang berada di bandar udara perairan. Ketentuan perizinan berusaha bandar udara perairan berlaku sejak pelaku usaha melakukan pembangunan, pengoperasian hingga pengembangan bandar udara perairan. Dengan demikian, seluruh proses kegiatan bandar udara perairan yang membutuhkan perizinan hanya memerlukan satu perizinan yang sifatnya menyeluruh melalui skema perizinan berusaha berbasis risiko.
Ketiga, isu strategis yang timbul dan penting untuk dikaji adalah terkait “Aspek Ekonomi”. Saat ini, pengoperasian pesawat apung dan bandar udara perairan di Indonesia masih sangat terbatas dan hanya ditujukan untuk kepentingan bisnis, pariwisata premium, dan kemanusiaan. Padahal, Indonesia memiliki potensi pengoperasian pesawat apung yang lebih luas, seperti untuk kepentingan passanger and tourism transport, surveillance, SAR, medical dan health service dan logistics, and fisheries transport.
Lebih lanjut, terkait pengoperasian pesawat apung yang ada saat ini ternyata membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Travira Air selaku salah satu operator pesawat apung menyatakan bahwa nilai sewa pesawat apung mencapai USD 140.000 untuk 100 jam per bulan. Hal tersebut berakibat pada mahalnya harga tiket pesawat apung, seperti yang terjadi di Pulau Bawah, Anambas, Kepulauan Riau dimana harga tiket pesawat apung ditetapkan sebesar USD 1780 untuk dua orang. Oleh karena tarif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen, maka perlu adanya pengaturan tarif batas bawah dan tarif batas atas. Pengaturan tarif batas bawah diperlukan untuk mengakomodir kebutuhan pihak operator penyedia layanan jasa pesawat apung. Sementara itu, pengaturan tarif batas atas diperlukan untuk meminimalisir praktik kolusi yang dapat berdampak pada keberlanjutan operasi pesawat apung. Selain pengoperasian pesawat apung, pembangunan dan pengembangan bandar udara perairan juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, pendanaan pembangunan dan pengembangan bandar udara perairan dapat bersumber dari APBN/APBD atau skema funding melalui perjanjian kerjasama dengan pihak swasta. |