Abstrak/Abstract |
Keterbatasan akses masyarakat terhadap obat-obatan dan berbagai produk kesehatan
lainnya masih menjadi isu yang belum terselesaikan di negara-negara sedang berkembang
hingga saat ini, termasuk Indonesia. Perlindungan paten terhadap obat menjadi salah satu
penyebab masyarakat tidak dapat memperoleh obat yang berkualitas dengan harga yang murah.
Di satu sisi, paten yang memberikan insentif kepada penemu obat diharapkan dapat
meningkatkan pengembangan obat baru di industri farmasi karena tingginya biaya riset dan
lamanya waktu pembuatan obat. Namun, di sisi lain, hal ini menyebabkan pemegang paten
memiliki hak monopoli untuk menentukan harga jual obat sehingga harga obat tersebut
menjadi terlampau tinggi bagi masyarakat, khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Ketentuan mengenai perlindungan paten terhadap obat-obatan ini ditetapkan dalam The
Agreement on Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Aturan yang terkandung
dalam TRIPs ini wajib dipatuhi oleh setiap anggota World Trade Organization (WTO).
Indonesia yang menjadi salah satu negara yang mengesahkan keikutsertaannya melalui
Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) pun
harus menyelaraskan setiap peraturan perundang-undangan di bidang Hak atas Kekayaan
Intelektual (HKI) dengan ketentuan yang ada di dalam TRIPs.
Kontroversi antara negara-negara maju yang dipandang memanfaatkan posisi negara
sedang berkembang sebagai pasar dari obat dan produk kesehatan lainnya pun akhirnya
diakomodir dalam Doha Declaration on the TRIPs Agreement and Public Health. Deklarasi
ini menyatakan bahwa setiap negara anggota WTO berhak untuk mengambil langkah-langkah
dalam melindungi kesehatan masyarakat, khususnya dalam rangka memberikan akses terhadap
obat-obatan bagi semua kalangan. Hadirnya deklarasi ini menjadi peluang bagi negara sedang
berkembang untuk mengatur lebih lanjut fleksibilitas dalam TRIPs.
Saat ini, Indonesia telah memiliki dua peraturan yang mengecualikan ketentuan TRIPs
mengenai perlindungan paten terhadap produk farmasi. Pertama, UU No. 13 Tahun 2016
tentang Paten (selanjutnya disebut UU Paten) yang mengatur tentang impor paralel, lisensi
wajib, dan pelaksanaan paten oleh Pemerintah. Kedua, Perpres No. 76 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral yang
2
memberikan akses terhadap obat penyakit HIV/AIDS yang saat itu masih dilindungi paten.
Namun, masih terdapat banyak ruang yang dapat digunakan Indonesia untuk dapat
memanfaatkan fleksibilitas regulasi Internasional secara maksimal, khususnya di masa
pandemi COVID-19 sekarang ini. Selain TRIPs, perlu dilihat juga ketentuan tentang
pengecualian-pengecualian dalam GATT 1994 yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia.
Oleh karena itu, kajian ilmiah dan analisa pemanfaatan fleksibilitas regulasi Internasional
dalam penyediaan obat dan berbagai produk kesehatan lainnya sangat dibutuhkan dalam rangka
Kementerian Kesehatan menyusun strategi untuk menjamin ketersediaan obat dan produk
kesehatan lain kepada masyarakat. Perlu adanya pendampingan dan asistensi dari suatu
lembaga atau institusi yang memiliki latar belakang penelitian akademis yang kuat dan
kredibel. Hasil pengkajian ini nantinya dapat menjadi rekomendasi dan dasar acuan untuk
menyusun kebijakan dalam penyediaan obat dan kemandirian sediaan farmasi di Indonesia. |